Data buku kumpulan puisi
Judul
: Ngepak-ngepak
Penulis : Fahrurraji
Asmuni
Cetakan
: I, 2015
Penerbit
: CV. HEMAT Publising, Amuntai, Kalsel.
Tebal
: viii + 76 halaman (61 puisi)
ISBN
: 978-602-1685-47-1
Penyunting/Penata
letak/Perancang sampul : Faizal Amin
Beberapa pilihan puisi Fahrurraji Asmuni dalam Ngepak-ngepak
TITIK-TITIK PANJANG
Titik-titik panjang tak terbaca
Menyimpan sejuta rahasia
Bermula dari satu titik
Melahirkan beribu-ribu kehidupan
Dari adam sampai akhir zaman
Titik-titik panjang bermuara dari kun-Nya
Menggulir takdir perjalanan anak manusia
Mempesona anggun jagat semesta
Tapi bukan sebuah sandiwara
Titik-titik panjang menggantang siang-malam
Hitam-putihnya adalah bukti nyata wujud-Nya
Lingkar-bundar adalah sistem pengaturan-Nya
Deret-deret panjang adalah pengintaian-Nya
(rev. 210312)
AKU AIR MENGALIR
Aku adalah air yang mengalir ke hilir
Mengikuti liku-liku takdir
Melantunkan gemericik tasbih
Menjamah lembut tebing kasih-Nya
Aku adalah air, mengalir terus mengalir
Hanyutkan kotoran-kotoran jiwa
Berpegang pada sabda dan firman
Aku adalah air berasal dari air
Mengalir terus mengalir
Takkan diam
Takkan dendam
Sebelum mencapai danau-Nya
(200212)
NGEPAK NGEPAK
Aku mengepak-ngepak tinggi
Menyisir langit
Menerobos mendungmu yang tergeletak di ufuk-ufuk
Menepis duka pelangi di hamparan senja
Aku mengepak terus mengepak
Tanpa hiraukan badai tanpa pedulikan topan
Lalu menukik tajam membelah awan
Memetik melati yang terbaring di bak sampah
peradaban
Kusematkan di dadamu dalam malam malam
Agar kau tahu betapa perlunya uluran tangan kebajikan
Aku mengepak-ngepak terus mengepak
Berkeliling kota, memasuki segala desa
Mengukir kata menebar doa
agar terhindar dari bala bencana
Mengepak-ngepak terus mengepak
ngepak
Tak kubiarkan sembilu mengiris diri
Supaya hidup berseri dan berperi
Mengepak ngepak berkelepak kelepak
Tak tahan merasakan panasnya
perseteruan
Antar sesama antar kerabat bangsa
Ngepak-ngepak mengepak ngepak
Aku lelah ingin istirahat di pangkuan-Nya
Damai
Damai
Damai
(Amuntai, Mei 2015)
JEMPUTAN KEPAGIAN
Jemputan itu datang kepagian
matahari baru lempar senyuman
embun dan daun masih bermesraan
pekerjaan banyak tak terselesaikan
Siapa nyana langkah hanya sependakian
Jemputan itu datang kepagian
Menuntut janji saat penciptaan
Tak bisa diingkari
Datanya tertulis di lauh yang tinggi
Jemputan itu datang kepagian
Ada duka menghimpit persendian
Bakal apa yang dibawa
Kecuali setumpuk jelaga jiwa
Akankah didera siksa berkepanjangan?
(revisi, 16 Oktober 2015)
MENGAYUN PENGAYUH
Dia ayun pengayuh menyusuri sungai kehidupan
Kecipak terdengar nyaring adalah irama perjuangan
Menyisihkan kabut-kabut kesengsaraan
Siapa yang mau perhatikan nasibnya
Setiap hari menyapu keringat menjajakan semangka
Makan nasi berkuah air mata
Suami masuk penjara, anak berpenyakit asma?
Siapa yang peduli malam berteman malaria
Tidur berbantalkan duka
Tanpa selimut terbuka aurat dan dada?
Dia tetap mengayuh hidup tanpa keluh kesah
Menyusuri takdir yang membentang di berbagai arah
Dia terus mengayun pengayuh dengan senyuman
Sampai ke ujung perjalanan
(Amuntai, 15 Oktober 2015)
MENGGAPAI KEABADIAN
Lelaki berjubah putih tertatih-tatih
Menelusuri jalan sambil menahan rintih
Menggapai Nur keabadian
Lalu asah rindu pada lembar sajadah
Mengusir sepi mengejar janji
Surga dalam angannya
Harapnya membuncah basah
Langkah dipacu zikir diramu
Hua Allah, Hu Allah. Hu Allah
Allah, Allah, Allah
Makin sibuk, makin mabuk
Allah, Hu Allah, Allah, Huallah
Hu, hu, Hu, Hu, Hu, Huuuuhuuu
Semakin lama semakin tenggelam
Lalu diam
Menyatu dalam segala rahasia
(Amuntai, Mei 2015)
JIKA TIDAK INGIN
Jika tidak ingin diamuk badai jangan berumah di
tepi pantai
Jika tidak ingin digoncang angin jangan menjadi
Jika tidak ingin digoncang angin jangan menjadi
pohon yang tinggi
Jika tidak ingin diinjak orang-orang yang lewat
Jika tidak ingin diinjak orang-orang yang lewat
jangan jadi batu kerikil
Jika tidak ingin jadi santapan harimau janganlah
Jika tidak ingin jadi santapan harimau janganlah
menjadi kelinci
Jika tidak ingin dikejar dan ditendang janganlah
Jika tidak ingin dikejar dan ditendang janganlah
menjadi bola
Jadilah tanah agar memperoleh kesabaran
Jadilah air agar bisa dimanfaatkan
Jadilah udara untuk penerus kehidupan
Manusia tak dapat hidup tanpa pijakan
Manusa tak dapat hidup tanpa minuman
Manusia tak dapat hidup tanpa pernapasan
Manusia hidup karena karunia tuhan.
Amuntai, 2014
Jadilah tanah agar memperoleh kesabaran
Jadilah air agar bisa dimanfaatkan
Jadilah udara untuk penerus kehidupan
Manusia tak dapat hidup tanpa pijakan
Manusa tak dapat hidup tanpa minuman
Manusia tak dapat hidup tanpa pernapasan
Manusia hidup karena karunia tuhan.
Amuntai, 2014
PERAHU
Akulah perahu
Akulah perahu
yang merenangi sungaimu
dari hulu ke hilir
dari tebing hingga tepian seberang
Aku tak peduli
meski sebelumnya sudah ada
beberapa perahu
berlabuh menelusuri alurmu
Aku tak peduli
suatu saat akan terjadi kemarau
hingga airmu tak lagi membasah
lidah
atau menyejuk rasa
Aku juga tak peduli
bila ada perahu lain
menguntit langkahku
Segalanya
telah kutumpahkan
dalam kolam hatimu
(Amuntai, 9 Maret 2013)
GADIS MAWAR
BERMATA BULAN
Gadis mawar bermata bulan
Keluarga rumpun bambu sebelah
rumahku
Setiap kali beradu mata
Aku hanyut dalam mimpi panjang
Bila malam tiba wajahnya meresahkanku
Gadis mawar bermata bulan
Menghijaukan rumput yang lama
mengering
Mengalirkan deras impian yang
semakin menjauh
Mestikah kubunuh kicau murai di
dadaku
Ah, aku semakin kehilangan langkah
(Amuntai 070312)
AKHIRNYA SAMPAI KE PUNCAK
Kado Ultah buat Arsyad Indradi
Akhirnya sampai juga ke puncak
Setelah menempuh perjalanan berliku
Menelusuri hutan penuh hewan berbisa
Meniti gunung tajam menyayat raga
Akhirnya sampai juga ke puncak
Walau dengan badangsar dada
Menahan perih luka diterkam duri-duri cerca
Menahan duka karena gadaikan harta
Akhirnya sampai juga ke puncak
Berkat darahmu menyatu dengan darah-Nya
(Selamat ULTAH yang ke-63 semoga sehat selalu dan dapat lindungan dari Allah SWT. Amiin)
(Banjarbaru, 29 Desember 2012)
Kado Ultah buat Arsyad Indradi
Akhirnya sampai juga ke puncak
Setelah menempuh perjalanan berliku
Menelusuri hutan penuh hewan berbisa
Meniti gunung tajam menyayat raga
Akhirnya sampai juga ke puncak
Walau dengan badangsar dada
Menahan perih luka diterkam duri-duri cerca
Menahan duka karena gadaikan harta
Akhirnya sampai juga ke puncak
Berkat darahmu menyatu dengan darah-Nya
(Selamat ULTAH yang ke-63 semoga sehat selalu dan dapat lindungan dari Allah SWT. Amiin)
(Banjarbaru, 29 Desember 2012)
TUHAN, KAULAH
Tuhan, kaulah
Matahari pemberi warna pada kehidupan
Angin pengembara dari waktu ke waktu
Tak pernah lelah
Tak pernah berkeluh-kesah
Tuhan, kaulah
Gedung beton menampung segala doa dan pinta
Tiang baja tempat bergelantung segala desah dan resah
Tuhan, akulah
Kabel listrik yang mengalirkan cahaya ke relung hati
Menggemakan ampunan ke hutan-hutan hitam
Tuhan, kaulah batu laut
Siap menerima semburan riak, tamparan ombak
Tuhan, kaulah
Air yang mengombang-ambingkan perahu
Jalan licin melancarkan kendaraan ke arah tujuan
Tuhan, kaulah
Cinta kasihku yang kucumbu tiap waktu
Cinta kasihku berzat satu bertangan seribu
(revisi 241015)
DARAH IMPIAN II
Dari liang mata luka
Mengalirlah darah impian
Menerjuni lembah keperihan
Menggejolak rindu
Pada rembulan
Dari liang mata luka
Kucoba menahan panas-Nya
Sambil menyeka keringat
Zikir tak lagi menjadi pendingin
Salawat tak lagi menjadi obat
Jelaga dosa terlalu kuat mengikat
Diri ini jadi berkarat
Dari liang mata luka
Mendesah darah impian
Membisik dalam gumpalan hitam
Minta hujan
ZIKIR BURUNG
zikir burung membuka pagi
Menyegarkan rasa bangkitkan karsa
Ketika azan di masjid-masjid masih sepi
Ketika manusia masih terbuai mimpi
zikir burung pagi-pagi
resahkan ular-ular pemangsa
gairahkan dua merpati merangkai cinta
zikir burung di beranda pagi
sebarkan berita pada dunia
di sarangnya terjadi pemutarbalikkan fakta
masih nyaring terdengar auman harimau tua
zikir burung ingatkan kita yang
terlena
agar bangkit tegakkan tiang kebenaran
(amt, 120515)
KAU ADA DALAM DIRI
Telah kudobrak beribu pintu
Telah kujelajah ruang dan waktu
Telah kuarungi lautan ilmu
Kau tak pernah kutemu
Lelah kumencari
Di mana kau sembunyi
Tuhan,
Kulangkahi jalan hakikat
Ternyata kau begitu dekat
Ibarat tali dengan jerat
Tuhan,
Kau tidak sembunyi
Kau ada dalam diri
(040312)
HUJAN MALAM
Hujan malam membasahi daun-daun mengkudu
Dinginnya berkabar padamu yang terbuai mimpi
Adakah terbersit kembali membenahi catatan
Hujan malam membasahi daun-daun mengkudu
Dinginnya berkabar padamu yang terbuai mimpi
Adakah terbersit kembali membenahi catatan
halaman pertamaku
Yang kau obrak-abrik beberapa musim yang lalu
Ataukah kau biarkan saja menyatu dalam
Yang kau obrak-abrik beberapa musim yang lalu
Ataukah kau biarkan saja menyatu dalam
kekusutan seperti itu
Tanpa mengecap indahnya pelangi sore
Hujan malam membasahi daun-daun mengkudu
Ada deburan ombak membasah dada
Ketika dikecup dingin dan sepi
Ketika tersingkap jandela masa lalu
Hujan malam membasahi daun-daun mengkudu
Aku bangkit dari dengkuran sepi
Tanggalkan selimut diri
Berlari menjemput pagi
Menunggumu di perbatasan hati
Tanpa mengecap indahnya pelangi sore
Hujan malam membasahi daun-daun mengkudu
Ada deburan ombak membasah dada
Ketika dikecup dingin dan sepi
Ketika tersingkap jandela masa lalu
Hujan malam membasahi daun-daun mengkudu
Aku bangkit dari dengkuran sepi
Tanggalkan selimut diri
Berlari menjemput pagi
Menunggumu di perbatasan hati
(Petang Jumat, 1 Februari 2013)
DI UJUNG PERJALANAN
Untuk ananda Rezqie Atmanegara
Akhirnya kita sampai di penghujung jalan
Walau keringat basah bercampur resah
Walau cermin tempat mengaca pecah
Kitapun telah meluruskan langkah
segarkan pikiran menerjuni sungai
dan telaga
Lalu bersama mengikat diri
Lalu bersama melangkah lagi
Gelak tawa satwa
Desis ular sawa
Dan seringai kera di pohon para
Adalah semangat saling mesra dan membuka rasa
Di ujung perjalanan ini
Kita mengasah pisau
Membelah bulan
Mengiris matahari
(Amuntai, 22 Januari 2013)
Tentang Fakhruraji Asmuni
Fahrurraji Asmuni memiliki banyak nama pena, antara
lain, Raji Abkar, Fahrurraji, As al-Alaby, Frasmuni, Raji Leonada. Adalah guru
SMA Negeri 1 Amuntai. Pendidikannya S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia-Daerah (PBSID) FKIP Unlam (2003) dan S-2 Manajemen Pendidikan, STIE
Pancasetia (lulus 20112)
Mulai
terjun ke dunia tulis-menulis sejak tahun 1982. Karya-karyanya berupa esai,
puisi, dan cerpen pernah dimuat di berbagai media. Puisi-puisinya terhimpun
dalam antologi tunggal, di antaranya Darah
Impian (1982), Tragedi (1984); Juga hadir dalam buku Elite
Penyair Kalsel 1979-1985 (1988), Bintang-Bintang
Kasuma I (Antologi 11 penyair Hulu Sungai Utara, 1984), Seribu Sungai Paris Berantai (antologi
penyair Kalsel, Aruh Sastra III di Kota Baru,
2006), Ronce Bunga Mekar
(antologi penyair Banua Enam, 2007), Mahligai
Junjung Buih (antologi puisi dan cerpen Sastrawan Hulu Sungai Utara,
2007), Tarian Cahaya Sanggam ,
Antologi Puisi Penyair Kalsel, (Aruh Sastra V di Balangan, 2008), Doa
Pelangi di Tahun Emas, (Aruh Sastra VI di Marabahan, 2009), Menyampir Bumi Leluhur, (Aruh Sastra VII di Tanjung,
2010), Antologi Puisi Penyair Kalsel (ASKS VIII Barabai, 2011), Sungai Kenangan
(antologi puisi penyair Kalsel, ASK IX Banjarmasin, th. 2012), Kepak Sayap
Sastra Banua untuk Kemanusiaan (ASK X,Banjarbaru,2013) dan Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah
Manusia (ASK XI, Rantau, 2014).
Kumpulan cerpen dan cerita yang telah dirilisnya adalah Kuning Padiku, Hijau Hidupku (1984), Sang Guru (1990), Pengabdian (1995), Dialog
Iblis dengan Para Shalihin (2000), Datu-Datu
Terkenal Kalsel (2001), dan Kena Tipu
(2005).
Karya yang lain adalah Mengenal Sastra Lisan Banjar Hulu (untuk
Muatan Lokal tingkat SLTP, 2001), Sastra
Lisan Banjar Hulu (yang sudah punah
dan masih hidup, 2009), Antologi cerpen
siswa SMA ” Diteror 100 Jam” , (editor,
2010), Tutur Candi (September, 2010)
dan Kumpulan Kisah Humor Bahasa Banjar
(2010); Ketika Api Bicara (kumpulan
cerpen bersama, 2011); Putri Junjung Buih (kumpulan cerita daerah,
antologi bersama penulis HSU, 2012); Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan (antologi
cerpen bersama, 2012), Nyanyian Kerbau Rawa (antologi bersama (GPM Amuntai, 2013); Syekh Abdul Hamid
Abulung, Korban Politik Penguasa (Penerbit Hemat, Amuntai, 2013); dan Sajadah
Iblis (Penerbit Hemat, Amuntai 2013).
Menerima hadiah seni sastra dari
kesultanan Banjar, pada 16 November 2013
atas dedikasinya dalam pengembang seni sastra dan budaya daerah dan anugerah
seni sastra dari Gubernur Kalsel, 14 Agustus 2014. Penyair tinggal di Sungai
Malang, Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel.
Catatan Lain
Selain meminjam buku ini dari Hajri, saya juga
membandingkan dengan puisi-puisi yang termuat dalam blog Percikan Sastra dan
Budaya. Puisi-puisi itu diposting sekaligus di tanggal 13 Agustus 2015, harinya
Kamis. Tentu saya berpegangan dengan apa yang tercetak (buku). Ada beberapa
revisi, jika tidak dikatakan banyak. Yang di buku tentu lebih baru, dalam
pengertian, yang telah melewati revisi. Namun, bagi saya pribadi, hasil
revisi-an, belum tentu lebih baik. Kadang yang belum direvisi pun tak kalah
menyengat.
Buku
ini dipersembahkan untuk istri dan anak-anak penulis. Ada keunikan dari nama
anak-anak penulis, yang kesemuanya memuat unsur Fakh. Mereka adalah M.
Fikri Fakhrudi, Dina Fakhriana, Ahmad Hafizh Fakhrin, Emma
Fakhriati Zulfa, dan Muhammad Zikri Fakhrian.
Berikut akan dibandingkan puisi
di buku (yang telah mengalami revisi) dan puisi yang ada di blog. Kedua versi
ini, bagi saya, sama bernilainya.
BULAN BERSELENDANG AWAN (versi buku)
Ketika membuka album lusuh
Terpampanglah kisah rembulan berselendang awan
Menggoreskan cahaya di lembaran hati
Bermekaranlah harapan mewangi di ambang sore
“Bang, ada sebuah kolam bening menunggu
Ketika membuka album lusuh
Terpampanglah kisah rembulan berselendang awan
Menggoreskan cahaya di lembaran hati
Bermekaranlah harapan mewangi di ambang sore
“Bang, ada sebuah kolam bening menunggu
kehadiran seekor ikan agar sepi
tak lagi
memagut tepian”
“Ikan siap merenangi kolam bening sepanjang waktu.”
“Ikan siap merenangi kolam bening sepanjang waktu.”
Gayung telah bersambut
Jalan terbuka lebar
Matahari bersinar di depan mata
Tiga tahun memintal benang cinta
Janur kuning akan dipancang tanggal muda
Malam sebelum bersanding di pelaminan
Anisyah tabrakan di perempatan jalan
Kepergiannya belati menikam diriku
Jalan terbuka lebar
Matahari bersinar di depan mata
Tiga tahun memintal benang cinta
Janur kuning akan dipancang tanggal muda
Malam sebelum bersanding di pelaminan
Anisyah tabrakan di perempatan jalan
Kepergiannya belati menikam diriku
(Malam sepi, 21 Februari 2013)
BULAN BERSELENDANG AWAN (versi blog)
Kuseka air mata yang merayap di
daratan pipi
Kutatap onggokan tanah basah dengan dua menara
Kemudian melangkah ke masa lalu
Terbukalah album lusuh
Terpampanglah kisah rembulan berselendang awan
Bermula pertemuan pertama di aula lantai II Unlam
Mata bertemu mata
Menggoreskan cahaya di lembaran hati
Bermekaranlah harapan mewangi di ambang sore
Seusai kuliah asuhan Pa Jebbar
Ia memberi isyarat hatipun jadi berdebar
Ketika pulang jalan bersama
“Bang, ada sebuah kolam bening menunggu kehadiran seekor ikan
Kutatap onggokan tanah basah dengan dua menara
Kemudian melangkah ke masa lalu
Terbukalah album lusuh
Terpampanglah kisah rembulan berselendang awan
Bermula pertemuan pertama di aula lantai II Unlam
Mata bertemu mata
Menggoreskan cahaya di lembaran hati
Bermekaranlah harapan mewangi di ambang sore
Seusai kuliah asuhan Pa Jebbar
Ia memberi isyarat hatipun jadi berdebar
Ketika pulang jalan bersama
“Bang, ada sebuah kolam bening menunggu kehadiran seekor ikan
agar sepi tak lagi memagut
tepian”
“ Ikan siap merenangi kolam bening sepanjang waktu.”
“ Ikan siap merenangi kolam bening sepanjang waktu.”
Lalu mendaratlah sebuah ciuman
terima kasih
Gayung telah bersambut
Jalan terbuka lebar
Matahari bersinar terang di depan mata
Tiga tahun memintal benang menjadi kain
Musyawarah berbuah mupakat
Janur kuning akan dipancang tanggal muda bulan muda
Undangan biru sebar ke handai tolan
Malam sebelum bersanding di pelaminan
Anisyah tabrakan di perempatan jalan
Kepala pecah tulang kakinya patah
Hari perkawinan berubah jadi hari kematian
Kepergian Anisyah belati menikam diriku
Gayung telah bersambut
Jalan terbuka lebar
Matahari bersinar terang di depan mata
Tiga tahun memintal benang menjadi kain
Musyawarah berbuah mupakat
Janur kuning akan dipancang tanggal muda bulan muda
Undangan biru sebar ke handai tolan
Malam sebelum bersanding di pelaminan
Anisyah tabrakan di perempatan jalan
Kepala pecah tulang kakinya patah
Hari perkawinan berubah jadi hari kematian
Kepergian Anisyah belati menikam diriku
(Malam sepi,21 Februari 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar