Data buku kumpulan puisi
Judul
: Penjaga Dian, Sehimpun Sajak (1973-2006)
Penulis : Satries
Cetakan
: I, Januari 2011
Penerbit
: Framepublising, Yogyakarta.
Bekerjasama
dengan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Palu, Sulawesi Tengah
Tebal
: xvi + 118 halaman (110 puisi)
ISBN
: 978-979-16848-6-3
Desain
isi : Tri Prasetyo
Desain
cover : Nur Wahida Idris
Gambar
cover : Islam Art and Architectur, hlm 117 (Ullman, Berlin)
Vignet
: Hudan Nur (6 buah)
Beberapa pilihan puisi Satries dalam Penjaga Dian
Suatu Senja di Sidera
senja merah. terbias
bianglala
sekelompok burung dara
hinggap di pucuk randu
menebarkan secercah senyum
sementara di sana mengalun
sebuah simfoni. rindu
Cuaca Memelas
beginilah cuaca memainkan hatiku
di saat seekor kelelawar
mengepakkan sayap pengeluhannya
karena hidup mesti dimaknai jua
karena derita mesti dialami jua
karena resah mesti dirasai jua
karena gundah gulana mesti digauli jua
karena nelangsa mesti diresapi jua
beginilah cuaca memainkan melodinya
di saat tak satupun lagu
yang bisa kunyanyikan untuknya
Cuplikan Cinta
bulan menanti di ujung malam
wajah-wajah penuh harap
yang mendamba cahaya
menyinari jiwa
lalu semua terlelap
dalam istirah
Air
isi air ke dalam kendi makna
tuangkan tetes-tetesnya
di gelas wacana
untuk menjadi bahan perenungan
isi air ke dalam bejana bunga
sebarkan percikan cintanya
ke seantero jagat raya
Lintasan Jejak
setiap berjalan
di depan cermin
menataplah diri
akan jejaknya
Perpeksi Hidup
tiga dimensi alam
dirangkai di angan
mengekalkan keabadian
tiga dimensi bayang
dijalin kenangan
menjelmakan harapan
tiga dimensi kalam
dikodratkan di jiwa
menjadikan amanah
Khidmad
suara alam
lagukan kelam
di tengah malam
mencari-cari
menari-nari
melerai-lerai
suara cinta-Mu
yang amat syahdu
di kalbu jiwaku
melodi rindu
melenting jauh
menambatkan sauh
di pelabuhan damai-Mu
Pelarian
kugenggam
jari-jemari waktu
bagai tangan kekasih
mengelus ini hati yang masih dahaga
biarkan sunyi jadi sahabat
dalam waktu yang berlari
dan hati yang masih sepi
dari arti dan damai
Harapan
detak waktu di desah nafasku
merambat di sela jemari
hari-hari berlalu
dalam dekap rindu
Janji
kakiku, kaki kudaku lari
ke udara beku, merebut mimpiku
hatiku, hati kasihku rindu
meratap sendu, kesandung ragu
bersuakah kita dalam lagu
Anjuran
Ini kertas putih, kosong
Ambilkan pena
Uraikan kisah
Ini berkas, penuh hikmah
Ambilkan hati
Ungkapkan makna
Ini dunia, luas membentang
Ambilkan ilmu
Untuk menggalinya
Tentang Sungai
airmu mengaliri rona hidup
manusia, sepanjang masa
kau lalui jua desa-desa
yang terpencil di balik gunung
kau antarkan jua harapan
di petak-petak sawah petani
bila dikau mati
air mata pun akan mengering
Huma
di tengah pusaran bumi
terdapat sehamparan tanah
tempat mengenang
k e a b a d i a n
di saat kesendirian
menekuri damai alam
Pencerminan
bulan ngambang di atas air
lalu lacak ke pangkalnya
bulan mancar di atas atap
bawakan kabar
tentang rindu kekasihmu
Hujan
gemuruh jatuhmu
datang menghimbau
kesendirianku menatap lugu
butir-butir kasihmu
basahi jantung bumiku
yang selalu berlagu
Penyakit
p e n y a k i t
menggerogoti setiap insan
adalah peringatan
akan kekuasaan tuhan
membawa makna tentang
kefanaan dunia
di sana ada kecemasan
dan kebimbangan
akan raga yang keropos
dan jantung yang berdebar
menanti saat pemulihan
atau mungkin
saat penghabisan
Suara
suara menyuara resah
suara menyuara gelisah
suara menyuara duka
suara menyuara luka
suara menyuara derita
suara menyuara papa
aku kehilangan suara
Sajak Buku Saku
kutuliskan sajak dalam buku saku
tentang kesaksian bisu
menggoreskan angan-angan beku
terlantar di perjalanan berliku
ada catatan kecil
ada harapan kecil
ada peringatan kecil
kutuliskan sajak dalam buku saku
cetusan hatiku yang merenung selalu
Tentang Satries
Satries adalah nama pena dari Sadrudin,
dari ayah Tarla dan ibu, Maryam. Lahir di Donggala, 25 Maret 1959.
Menyelesaikan S-1 di Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin dan Pasca
Sarjana di Universitas Tadulako, Palu
(2008) dengan prodi Pengembangan Wilayah Pedesaan. Berkarir sebagai PNS
(Pegawai Negeri Sipil), juga pernah berprofesi sebagai guru dan dosen. Karya
puisinya pernah dimuat di Palu Pos, Nuansa Pos, antologi Suara
Jiwa (Dewan Kesenian Palu, 2005), Percakapan Lingua Franca (Antologi
Temu Sastrawan Indonesia 3, Tanjungpinang, 2010).
Catatan Lain
“Membaca sajak-sajak
dalam buku ini kita mendapatkan kesan yang kuat: penyairnya, Satries percaya
bahwa untuk mengungkapkan kedalaman makna dan membangun keindahan bahasa tidak
harus dengan baris-baris sajak yang rumit dan gelap. Kedalaman makna dapat juga
diungkapkan dengan baris-baris sajak yang pendek, sederhana dan komunikatif
namun tetap terasa indah dan bermakna,” komentar Ahmadun Yosi Herfanda
di sampul belakang buku. Menemaninya ada komentar Neni Muhidin.
Ternyata di bagian
awal buku, hadir pulak testimoni bagi Penjaga Dian, berturut-turut ada
Bode Riswandi, Eko Putra, Saut Situmorang, Irianto Ibrahim, Ahmadun Yosi
Herfanda, Emhan Saja, dan Neni Muhidin.
Berikut komentar
Saut: “Membaca sajak-sajak Satries, terus-terang saja Saya tidak paham! Simbolismenya
terlalu pribadi sehingga membuat Saya tidak bisa masuk di dalamnya, yang bisa
saya nikmati hanya kesederhanaan pilihan diksi sajaknya dan imajisme ekspresi
yang menurut Saya merupakan ciri khas puisinya, mengingatkan pada sajak-sajak
Chairil Anwar dan para epigonnya di era 1980an. Tetapi mungkin diksi yang
imajistik itulah yang ingin dicapai sajak-sajak Satries dan karenanya adalah
keliru bagi Saya untuk membacanya sebagai Simbolisme! Kalau kecurigaan Saya ini
benar maka sajak-sajak Satries adalah contah Puisi Imaji yang masih tersisa di
samudera sampah Neo Pujangga-Baruisme Kompas Minggu dan Koran/Majalah Tempo
di sastra Indonesia awal Abad 21 dan ini melegakan!” Begitu.
Semua puisi di kumpulan ini, tak ada yang
melampaui satu halaman. Ada tiga puisi yang judulnya memakai kata Soneta, tapi
ternyata bukan Soneta dalam pengertian yang kita kenal. Berikut dihadirkan
ketiganya:
Soneta Diri
aku berjalan ke ujung senja
menelusuri bayang rinduku
yang terus menguntit arah angin
di perjalanan kulihat
wajah-wajah penuh harap
akan damai sejahtera
aku menata ruang jiwa
mengemban amanah talenta
yang terus menggeliat membaca makna
Soneta Suka
seraut wajah
memberikan senyum
bahagialah cintanya
menawarkan kedamaian
kepada sesama
Soneta Duka
sepagut duka
dirajut luka
kaki melangkah
terbata-bata
sepahit derita
tertitipi di dada
biarlah kisah
menata jiwa
Terakhir, jangan
mempercayai daftar isi, angka yang berada di belakang judul puisi itu bukan
menunjukkan halaman. Tarohlah, kita baca dari daftar isi itu “Cuplikan Rindu ~
88”, dan kita pun menuju halaman 88, maka yang ada di sana malah vignet-nya
Hudan. Puisi “Cuplikan Rindu” sendiri hadir di halaman 92. Jadi, pikirku, angka
yang berada di belakang judul puisi itu lebih kepada urutan puisinya. :P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar