Kamis, 05 Mei 2016

Edy Firmansyah: DERAP SEPATU HUJAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Derap Sepatu Hujan
Penulis : Edy Firmansyah
Cetakan : I, Maret 2011
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta.
Tebal : viii + 106 halaman (80 puisi)
ISBN : 978-602-98532-9-2
Penyunting : Irwan Bajang
Penyelaras aksara : Anindra Saraswati
Penata letak : IBC Art Work
Perancang sampul : Leo Baskoro

Derap Sepatu Hujan terdiri dari 2 bagian, yaitu Catatan Perjalanan I 2004-2009 (23 puisi) dan Catatan Perjalanan II 2010 (57 puisi).

Beberapa pilihan puisi Edy Firmansyah dalam Derap Sepatu Hujan

Ultimatum dari Kampung

Jangan terlalu tinggi menilai diri penyair!
apa arti selembar puisi
di punggung perempuanperempuan yang menggendong bakul ke
pasar?
di suara sumbang anakanak jalanan?
di kaki pemulung yang mengorekkorek sampah?
tak lebih berharga dari koran bekas
alas tidur ketika malam melintas

mereka yang melalui kelam hidup dengan berani adalah puisi
puisi paling murni
yang bisa membuat langit terbakar
dan bumi tepar

tapi siapa peduli?
tak ada mereka itu dalam puisimu bukan?
meski tiap pagi lewat depan rumahmu
mencari makan. mencari makan

tak perlulah puisi sedu sedan itu
jika tak bisa menghargai yang hidup
membangkitkan yang mati

jangan terlalu tinggi menilai diri penyair!
mereka yang berani hidup adalah puisi
wajib dicatat meski tanpa selebrasi

September-Desember 2010


Puisi Abadi

setinggi apa pun puisi terbang,
ia tetap menjejak bumi
karena puisi adalah tanah
tempat yang hidup berdiri
tempat tetirah yang mati

ulat dan belatunglah
ibu tiri yang mengajari
menyusu pada puting imaji
dan makan bangkai
penyair besar yang mati
dan bangkit lagi dalam antologi

maka akulah puisi
dalam ramai dan sunyi diri
datang dari ziarah orangorang mati

2006-2010



Sajak Anakanak Tembakau

Jadi begini saja
kalau kau memang tak punya banyak waktu
kirimi aku diam
60 detik
kutulis sajak
anakanak tembakau
tentang kehidupan melawan kemarau
dengan keringat
ditemani celoteh kerbau
dan bunyi kerontang
rantang makan siang

wajah mereka api
kulit mereka baju besi
tak ada tangis
hanya tawa
Serupa doa;

“Jangan turunkan hujan
Biarkan kami bermain layang-layang
Hingga musim panen datang”

jadi cukup 60 detik
dan kau bisa membacanya
dalam perjalanan ke kota

Madura 2006


Doa
: dari gelandangan

Tuhanku
dalam susah aku tengadah
memohon segala pinta
seperti yang sudahsudah

cahayaMu kerling sunyi
di antara neon box iklan
dan rindang pepohonan
dalam dingin dini hari
penuh kekosongan

Tuhanku
menujuMu
ribuan orang remuk
ribuan orang melepas nyawa
bersuci diri.
mengucur darah saudara sendiri
adakah kau di sana?
menemani supri, menemani heru
karibku yang mati lebih dulu?
Tuhanku
Di pintuMu aku mengutuk
tulisan: “Dilarang tidur di masjid”
dan aku berpaling. berpaling
ke taman kota. ke terminal ke stasiun
melepas mimpi dengan waswas di sana
dan anggap saja kita
tak pernah bertegur sapa

2010


Metafora Malam
Desember Penghabisan

malam ini puisi seperti bau asap knalpot
truktruk tua yang melintas pelan
mengangkut tembakau kering berbalbal
--entah ke mana. entah ke mana

di trotoar ini, di warung kopi lesehan
kucium juga harum tembakau
bau comberan
dan bau asap mesin eksplorasi minyak lepas pantai
bercampur kabut yang jatuh
bersama dingin malam dan bulan desember penghabisan
ku tak tahu mau menulis puisi apa malam ini
sepi hari menghitam di cangkir kopi
pagi tadi kulihat 8 burung kuntul
berdiri di sepetak sawah kosong
sesekali mereka melompat dan mengais tanah becek
hingga ujung sayapnya yang putih jadi cokelat tua
sementara malam ini hanya deru knalpot
truktruk tua yang melintas
dan bau solar dan comberan
kuingat sampai pulang ke rumah hingga
mimpi terbang dibawa kelelawar
menuju bintang timur
di mana peristiwa pagi dan cerita malam ini
terbakar dalam ingatan
seperti bintang kecil di langit baru
yang terbakar dan membiak
dalam mimpiku

Madura, 31 Desember 2010
00.00 WIB


Ketika Berteduh dari Hujan

Hujan jatuh lagi. Hujan jatuh lagi
Dan aku berteduh, sambil menunggu Mama dan Echa
beli popok
Tapi adakah yang bisa berteduh dari airmata?
Adakah yang bisa berteduh dari airmata?

Lelaki tua
penjual putu dari desa jauh bogor utara
terkantukkantuk. Terkantukkantuk
di trotoar jalan. Disamping toserba waralaba
yang sibuk melayani satu dua pembeli
Hujan kian deras, malam kian keras
hai, hai, ini sampan. Ini Madura
tak ada gedung pencakar langit
hanya pohon dan bukitbukit
Tapi begitu kelam jalan nasib
seperti panas aspal hitam jalanan
menguap diguyur hujan
“Beli putu, mama! Beli putu”
“Belilah. 3000 saja”
Lelaki tua itu
masih terkantukkantuk
menerima uang 3000
dan menyiapkan putu yang dipinta anakku
Ia bekerja tanpa suara. Tanpa suara
tak seperti dulu waktu pertamakali bertemu

Ah, malam ini mungkin
hanya riuh hujan mendekatkan kita dalam
kesunyian yang panjang
“Berapa ribu ia bawa pulang dalam semalam?” bisik istriku
Aku tak tahu. Aku tak tahu

Tapi berjutajuta orang
seperti lelaki tua penjual putu
dari desa jauh Bogor utara itu
terus tumbuh dan membiak
menyebar tak terbendung
bersama kesunyian. Dalam kepedihan zaman
di Negeri yang demam

Sampang-Madura, 9 Desember 2010


Sajak Buat Ibu

Aku pergi, Ibu. Aku pergi
ke daratan terjauh
yang tak terjangkau kakimu

Barangkali di sana
di tempat anakmu menggulung dunia
tak ada peluk cium dan cerita sebelum tidur
tapi tulus cinta dan ampunanmu, Ibu
membeku. Membatu
dan jadi tempat berdiri lagi
anakmu yang terjatuh

Aku pergi, Ibu. Aku pergi
menyusuri jalan rantau
menanggung nasib sendiri
tanpa kau di sampingku

Tapi adakah yang bisa melupakan ibu?
Adakah yang bisa melupakan ibu?

Di jalan rantau
kulihat ibu di manamana
di bawah purnama. Di emperan sebuah toko buku
kulihat ibu memeluk anaknya yang terus mengigau susu
Di atas bis antarkota yang melaju
kulihat ibu tua membelai anaknya
usai ngamen berdua
(bernyanyi lagu keong racun)

Kulihat ibu di manamana. Di manamana
ibu adalah peradaban tak usaiusai. Tak usaiusai
tak ada ibu tak ada manusia.

Aku pergi, Ibu. Aku pergi
ke daratan terjauh
yang tak terjangkau kakimu
maka izinkan kakiku
bersimpuh di hatimu selalu
baik pulang maupun tak kembali
ke pangkuanmu


Pidato Bagi Para Pengungsi

barangkali mereka terlalu lelah untuk marah
ketika nasi bungkus basi
dibagibagikan di hari mereka mengungsi

barangkali mereka terlalu lelah untuk angkat bicara
ketika tak ada selimut layak
dan susu formula untuk balita
tak kunjung tiba

barangkali mereka terlalu lelah untuk meradang
ketika menteri pemuda dan olahraga
mengirim catur, bola, halma dan ular tangga
sambil berkata;
“Pengungsi sudah enak
tinggal menunggu bunyi klenteng-klenteng
lalu makan ramairamai”

barangkali mereka terlalu lelah
memikirkan nasib yang sudah lungrah
tapi kesabaran ada batasnya
ketika akan memaksa penguasa
menjilat ludahnya sendiri
yang sudah jadi sampah
di kuburan sendiri
di bibir merapi

Madura, 09 November 2010


Mudik

kekasih, mari berkemas
mari bergegas
kita pulang sekarang
menuju berkah kampung halaman

setiap pelukan kita sepanjang jalan
berkelana menuju masa silam;
pangkuan ibu, di mana kita merajut masa kanakanak dulu
hamparan tanah lapang, tempat main layangan dan berkelahi
pohonpohon akasia tua tempat kita sembunyi
di kaki bukit. di gelap sabit
di mana kita menebarkan ciuman begitu manis
sepanjang malam gerimis

barangkali sudah tak ada tanah lapang
dan bukitbukit terjal
yang tinggal kini cerobong pabrik
pipapipa besi dan alatalat berat eksplorasi
diapit gubukgubuk tua yang retak tanahnya
dan kita tak pernah tahu bagaimana
minyak bumi dihisap hingga inti
sebab kemiskinan makin menjadijadi

tapi siapa yang mampu menghapus kenangan, manisku?
Tak ada. ia abadi
dan untuk itulah kita kembali

8 September 2010


Doa Seorang Koruptor

Tuhan,
padaMu aku berlindung
dari segala kejujuran yang menyiksa
dan dari segala jerat undangundang
yang bikin melarat dan menghancurkan masa depan

Oh Tuhan yng Maha dekat
dekatkanlah hambaMu dengan orangorang mapan
dan doyan uang
sehingga tak sulit bagi hamba mencari jalan keluar
ketika dirundung kesulitan

Tuhan,
hanya padaMu hamba memohon
hanya padaMu hamba mengeluh
Jauhkan hambaMu ini dari jeruji penjara
serta selamatkan dari siksa api neraka

Amin!

Ramadhan 1431H/2 September 2010


Puisi Merdeka
  Mengenang Widji Thukul

Jika hargaharga melambung tinggi
dan orang miskin hanya mengeluh di depan TV
hatihati! mungkin mereka sedang mengasah dendam
yang siap ditikamkan pada siapa saja
yang membikinnya kesal

jika berbeda keyakinan
cara memaknai tuhan
sudah dianggap menyimpang
dan penganutnya layak dihajar, digasak
dan rumah ibadahnya diizinkan dibakar
sambil terus mencari pembenar
di balik ketiak ayat suci
sementara pemuka agama bungkam seribu kata
ini alamat, agama telah jadi khianat

jika penggusuran dan razia sudah dianggap pembenar
atas nama keindahan kota atau apa saja
ini pertanda penguasa tengah gila
dan minta dicuci otaknya

dan jika penguasa telah menilai kemiskinan
hanya dari angkaangka tanpa melihat realita
ini pertanda orang miskin di negeri ini hanya sampah belaka
dan mungkin suatu saat, atas nama negara (juga agama)
akan ditimbun atau diledakkan hingga tak bersisa

kalau sudah demikian
apa arti kata merdeka bagi kaum papa?

dan ketika puisi ini dibaca
orangorang melongo saja
atau mengelus dada karena iba
atau mungkin tertawa karena isinya satir adanya
ini alamat
kita sudah jadi mayat
busuk dan penuh ulat

dan ketika puisi ini dibaca
para pendengar atau pembaca bangkit dari kursi
dan orangorang miskin tegak berdiri
kemudian bergerak bersama
bergandengan tangan menuju istana negara
dan mengepung lembaga di mana penindasan dijadikan
undangundang
ini pertanda para penguasa korup dan bebal
harus segera turun tahta dan angkat kaki
kalau tidak ingin digilas revolusi

tapi jika kemudian puisi ini dilarang dibaca
karena dianggap membahayakan kestabilan orangorang mapan
maka mulai sekarang
para penyair harus segera mengambil tindakan
dengan membuat 1000 puisi
yang lebih garang dari puisi ini
dan merapatkan barisan
bikin perhitungan

Madura, 26 Agustus 2010


Cerita Musim Gugur

O, serpihan cuaca
alangkah pahit musim gugur
pagi yang ritmis
mengarak gerimis daundaun
di altaraltar suci
di ruangruang sepi
di halaman belakang
di trotoar
di siang garang
O, amuk hari
angin sakal,
kemarau panjang
daundaun jatuh
pohon tumbang
manusia mati
dan tanah tempat kembali
tapi siapa yang bisa menduga hari?
setiap hari adalah maut itu sendiri.
kadang datang begitu manis
kadang datang begitu bengis.
dan jika tibatiba usia terlepas
segalanya membeku. segalanya membatu.
Sampai akhirnya, pecah
menjadi sebutir debu
yang melilipkan mataMu

17 Agustus 2010


Catatan Perjalanan

senja tiarap
begitu petang
membuka tirai bulan
langit yang merah saga
tibatiba tenggelam
di hitam malam

perjalanan ini
seperti deru mesin
knalpot bocor
angkot tua
yang aku tumpangi
melaju
di jalan berbatu
begitu bising
begitu menderu
dan aku tersesat
di labirin bisu

malam telah datang
berkalung sabit
menunggang remang bayangan
mungkin aku dan para penumpang
seperti negeri ini
begitu rapuh
begitu ringkih
terombang-ambing
dari kelam ke kelam
hingga perjalanan ini
terasa semakin panjang
dan membosankan

masihkah kau di situ, manisku?
menunggu
dengan rindu membatu
seperti dulu
ketika kita
menyaksikan senja
di dermaga
sambil mengeja
dosadosa perjumpaan
dengan debar memburu
dan air mata
jatuh satusatu
dan begitulah selalu
tiap kali bukubuku dosa
kita tutup
bermulalah hidup
seperti bintang
berpendar di kejauhan malam
menjadi sajak
atau catatan perjalanan
yang akan terbaca selalu
meski kita tinggal rangka
dan secuil nama
di sebongkah batu

setialah menunggu manisku
aku pulang untukmu
selalu

Surabaya, 7 Agustus 2010


Puisi

bagaimana bisa menulis puisi
jika tibatiba anak berak di celana
karena sudah dua hari diarenya tak juga reda
bau busuk menyeruak ke manamana,
cairan tinja netes di lantai
dari celana anakku
yang terus menangis di ranjang, karena
ditinggal mengepel lantai
sementara istri terlambat pulang
katanya rapat sekolah belum usai

bagaimana bisa menulis puisi
tentang siluet gunung
tentang kristal garam yang berpendar
dan ombak laut berkejaran
di siang garang
dalam perjalanan pulang,
ketika kabar duka datang
tetangga sebelah mati
mengiris nadi sendiri
lantaran uang arisan digarong orang

                                    bagaimana bisa menulis puisi
                                    dengan katakata indah
                                    ketika yang lahir hanya serapah;

                                    Cok!
                                    hargaharga membumbung tinggi
korupsi dan kejahatan korporasi jadi lumrah
di tengah kemiskinan yang parah

Cok!
                                    penggusuran menjadi-jadi
sementara para kiai
sibuk berdebat tentang kiblat
yang serong ke kiri

ah, puisi
mungkin sekadar sublimasi
menghadapi persoalan hidup seharihari
agar tak mati bunuh diri
atau misalnya harus menyerah
pada maut esok atau lusa
aku tak sepenuhnya musnah
ditimbun sejarah

Suramadu, 2 Agustus 2010


Di Antara Airmata Hujan
(Hujan Bulan Oktober)

aku menyusuri jalan pulang
di antara airmata hujan
dan gigil angin
angin khatulistiwa
oktober yang menua

kusarikan hidup
dengan puisi hujan
di gardu tua
di mana para pekerja
berteduh di bawah atapnya
oh, betapa teduh kebersamaan karib
oh, betapa tak ada lagi jarak nasib
di bawah airmata hujan
ketika semua kita
menyusuri jalan cahaya
menuju pulang
melepas tangis atau tawa
bersama keluarga
selepas hujan reda
aku menyusuri jalan pulang
di antara genangan airmata hujan
inilah jalanku, jalan puisi
dan airmata pekerja
menjadi lenteranya
semoga tak redup hingga habis usia

Sampang-Madura, 21 Oktober 2010


Sajak Sepotong Roti

Tepat ketika kerakusan bersemi
Semesta tak lebih dari sepotong roti

Juni, 2010


Hari Lebaran

Ada yang lupa kuhapus
bilur airmatamu
ketika mengeja dosadosa
yang kutorehkan tanpa sengaja

ada yang tak tuntas kuseka
perih luka masa silam
yang mungkin jadi sembab
tanpa mampu dipendam
selembar sapu tangan

mungkin tak cukup seribu maaf
menghapus dosa, menyeka luka
yang telah jadi gurat di dada
tapi barangkali puisi bisa
mengakhiri muram dendam
hingga senyum maafmu
ikut jatuh bersama hujan

Madura, 9 September 2010


Menuju Kotaku

waktu berderap
dalam arloji tua
deru mesin bis antarkota
mengeja kelebat usia

malam begitu lambat
pematang sawah
rimbun pohon
gubuk-gubuk tua
kerlip lampu
lengking burung hantu
berkelebat
dari senyap ke senyap

oh, perjalanan
dalam kantuk kugantung bintang
di dengkur malamMu yang temaram

Jember, 23 Juli 2004


Sajak Ulang Tahun
: Atik Catur Budiati

Yang pertama adalah maut;
mengejang, menerjang ibu
dalam kesakitan yang sembilu

yang menggenang adalah ketuban
dan darah melarungkan kelahiran

yang tertinggal adalah usia
tanggal bersama kalender tua

dan bahagia
dan duka
dan kenangan
meredup menyala
seperti lilin berpendar
di atas kue tart

maka hidup, lecutlah
sebelum segalanya lungrah

sebab yang terakhir adalah maut
di situlah kita bersipagut

Madura, 30 September 2010


Tentang Edy Firmansyah
Edy Firmansyah lahir di Pamekasan, Madura. Pernah menjadi wartawan Jawa Pos di Surabaya selama setahun (2005-2006). Menulis puisi, cerpen, esai, artikel. Publikasi pertama puisi di situs cybersastra.net. Tulisannya tersebar di berbagai media massa lokal dan nasional dan antologi bersama. Kumpulan cerpen: Selaput Dara Lastri (2010). Bekerja sebagai wakil pemimpin redaksi majalah Fokus (majalah lokal di Pamekasan).


Catatan Lain
            Penyair tak menulis catatan atau pengantar di buku ini. Tapi jika mau, ada semacam “pengantar” yang ditulis oleh penyair, yaitu dua kalimat yang ditulisnya di sampul depan buku. Ini bunyinya:”Mereka yang berani hidup adalah puisi/Wajib dicatat meski tanpa selebrasi”. Merupakan sejumput kutipan dari puisi Ultimatum dari Kampung.
            Beberapa puisi dari penyair ini memplesetkan puisi-puisi penyair lainnya, antara lain puisi Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono dan Widji Thukul.
            Di sampul belakang buku hadir sejumlah nama memberi testimoni: Heri Latief, Nurani Soyomukti, Halim HD, Ciu Cahyono dan Irwan Bajang. Kata Irwan Bajang: “… Puisi dalam buku ini adalah mata yang merekam peristiwa, semangat menyala yang ia tulis dengan hati yang gelisah. Saya suka menyebut puisi Edy sebagai puisi reportase, sebab kaya sekali dengan peristiwa di sekeliling kita.”

1 komentar: