Data buku kumpulan puisi
Judul: Tarian Cermin
Penulis: Mustafa
Ismail
Penerbit: Aliansi
Sastrawan Aceh, Aceh.
Cetakan : I, 2007
Penerbit digital : Imaji Book dan Infosastra.com (2012)
Tebal : 111 halaman (99 puisi)
Epilog : Adek Alwi
Beberapa pilihan puisi Mustafa
Ismail dalam Tarian Cermin
LHOKSEUMAWE
kota itu masih menyimpan rasa sakit
hidup yang beku: harapan-harapan mengental
dalam genggaman orang lewat
pada sebuah malam yang hening, dengan bedil di tangan
lalu kita membangun pulau-pulau
setiap malam, ketika anak-anak terlelap, untuk menyusutkan
air mata: cintalah yang membikin kita hidup
meski sering harus tiarap ketakutan
apakah bedil kini sudah menjadi mainan?
aku kerap lupa: tempat itu adalah taman bermain
bagi laki-laki yang kangen masa kanak-kanak
dan air mata, milik siapa pun, adalah bagian dari permainan
kota itu adalah sebuah rumah kosong
yang tak pernah kita tinggalkan: kita selalu di sana
menulis kata-kata, juga angka-angka, yang tidak
untuk dibaca: sebagai penawar rasa sakit
Sawangan, 7 September 2002
ALUE NAGA
Di jembatan Lamnyong kulihat matahari sudah condong ke barat
kau masih saja berpura-pura. Bermain dengan mimpi bagus
yang ditiupkan negeri jauh
serangan demi serangan tak mungkin dielakkan
kita mesti bertahan
pada rumah yang dibangun dengan cinta dan pengorbanan
kuatkan tanganmu pada akar-akar pohon bakau
menghadapi setiap kemungkinan
hadapi ledakan demi ledakan dengan doa dan perjalanan
pada satu terminal akan kita temui sejarah yang tenggelam:
masa silam yang manis. Tanpa luka dan keresahan
Banda Aceh, 28 september 1993
IRONI
hati manusia sudah beku, ketuklah terus
sampai kau merasa hidup menjadi lebih indah
dan mereka sadar tanah ini milik kita
apabila ada yang luka, kirimlah air mata
ke seluruh malam
biar bulan jatuh dan kegelapan menjadi sempurna
hidup kita terbuat dari arloji, jangan sisakan sedetikpun
hidupmu buat mereka
apalagi untuk merenggut hidup kita
Jakarta, 30 Mei 2000
BANDA ACEH: OBROLAN
suatu ketika, entah kapan, kita mulai lagi sebuah obrolan
sekedar melepas kangen, atau menyusuri jalan Teuku Umar yang senyap
malam makin sempurna di sana. Orang-orang mati kuyu
di rumah
anak-anak meniti buih berangkat ke pembaringan paling abadi
telah hilang sekian generasi, hidup menjadi nasib buruk:
tiap saat harus menimba kekalahan demi kekalahan
tidak ada tempat untuk bertanya, apalagi berbagi luka
apabila ada yang mati, itu adalah takdir yang tak mungkin ditolak
suatu ketika, entah kapan, kita mulai lagi sebuah guyonan
sekedar menghibur diri, melihat masih banyak orang terpaksa pergi
tanpa ayat-ayat suci dan orang-orang yang mengantarkan.
Jakarta, 18 Mei 2000
TITIK NOL
mungkin, ini adalah titik nol, saat pertama kita
bercakap-cakap tanpa kegembiraan, penuh air mata,
juga bayangan cuaca yang gelap, dan kita ngeri
melihat langit terbentang dengan isak tak tertahankan
itu bukan pertanda buruk, dan hujan kembali membakar wajahmu
aku hanya bisa menarik nafas melihatmu menarik garis lurus ke udara
seperti menggambar kehidupan dengan cita-cita yang tersendat
kita harus mulai, kataku, dan lupakan segala debar yang
sepanjang pagi membangunkan tidurmu
dengan matahari yang tak kunjung muncul
meskipun pagi lama pamit entah ke mana
satu lagi yang ingin kukatakan padamu: hidup perlu warna,
dan kita sedang melukiskan hidup itu, berangkat dari titik nol
Jakarta, 5 Agustus 2000
BERTERIAK DI JALANAN
ayo, kita tanam singkong dan ketela di jalanan ini
sambil membagikan poster-poster atau meneriakkan
pamflet-pamflet. Setiap hari, sambil jalan kita menyiram
atau bahkan memetiknya, buat sekedar sarapan
setelah bibir malam terkatup dan menelan semuanya
apa yang tersisa bagi kita, tanpa singkong dan ketela?
Jakarta, 31 Januari 2003
SUARA-SUARA
kita mendengar suara-suara di malam kosong
serupa jerit, juga histeria. Ada wajah yang berdebu
dan tangan mengepal ke udara
ini sebuah panggung: tempat kesedihan, pun keperihan
ditonton dengan wajah sumringah
langit bukan milik bersama
matahari makin mengkontraskan suara-suara
dalam perahu yang sama. Senyum dan air muka kita
melukiskan masa depan masing-masing
nasib tak bisa dibagi, mungkin itulah yang tertoreh
dalam hatimu kini, setelah lift membawamu jauh
membikin rumah di udara
7 September 2002
MEMOLITA PANTAI
mungkin sore itulah terakhir kita menelusuri pantai itu
berangkat dari dermaga ketika matahari akan terbenam
ada hawa aneh: adakah kau lihat sebatang pohon tumbuh
di langit?
kita kemalaman sampai di rumah. Entah berapa mil,
jarak yang tidak singkat, kita habiskan sekali pandang
malam makin membuat kita lupa
dan tergoda
setelah itu kita memilin waktu, sambil menyaksikan laut
yang terpenjara, mengais-ngais cinta dalam tidur
ada pulau yang terbelah, laut segera membentang
milik siapakah?
dan kini, kita hanya menyaksikan perjalanan itu
dalam buku-buku bisu, tak ada lagi yang bercakap-cakap
apalagi bersenda gurau
di luar ada yang menangis, hidup siapakah yang berakhir
kabut berarak, dan pantai itu menjadi gaib
tempat cinta menjadi batu nisan, dingin dan gelisah
bersama air mata yang terus memancur
menjadi sungai dalam hati kita
Lhokseumawe 1996-Jakarta 2002
RUANG VAKUM
-- kepada penyair Aceh
kita tulis lagi kata-kata itu, pahit dan bercela, di malam
yang sakit: seorang lelaki yang tertembak atau perempuan
kehilangan mahkota, menangis di kegelapan
kita tanam kamboja di setiap langkah dan memetiknya
setiap melihat darah: puisi menjadi teriakan kosong ketika
orang-orang tak lagi mengenal kata-kata
kita bergerak dari ruang vakum satu ke ruang vakum lain,
kata seseorang dalam e-mailnya: memetik buah tak pernah
matang, menamam pohon tak pernah rindang
kata-kata menjadi poster, pamflet, juga tangisan
ia tidak pernah lagi menjadi puisi: angin sepoi basah
mempermainkan anak-anak rambut kita di pinggir kolam
Depok, 1 Februari 2003
MELUKIS PUISI
adakah kau menunggu, pada sudut
yang bebas dari tempias hujan
menandai sebuah sunyi dan dingin malam
sambil kau baca surat-surat yang belum selesai kutuliskan
sambil menatap hari-hari yang gelisah
laut di sini tetap bergelombang
menggores luka di bekas tapak tangan
aku ingin kau menghapus kegelapan pantai di bibirku
yang gemetar setiap menyebut ayat-ayat langit
padahal aku telah diajari membaca
tetap juga kutemui huruf-huruf yang kaku
dalam gigil terselip sepucuk puisi
isyarat yang tiap saat mesti kuterjemahkan
seperti langit yang senantiasa berganti warna
seperti laut yang selalu saja surut
aku di dalamnya
melukis gambar-gambar yang dipotret sejarah.
Trienggadeng, 1996
MEMO SIGLI (I)
dalam diammu aku terharu menterjemahkan sejumlah malam
berbaris dalam bahasa dan kenyataan laut
kau melempar aku dalam keheningan terhebat
memandang diri sendiri bercermin matamu
hingga berkali-kali aku minum kehangatan
yang aku sendiri tidak pernah mengerti
ketika kau katakan hari adalah kesunyian
aku pun terlempar dalam sumur yang kau sediakan
mencoret-coret puisi tentang diri sendiri
yang kehilangan di sejumlah perjalanan
juga tentang perempuan yang kemarin melukis ombak
lalu kembali ke kegelapan
seperti burung-burung kembali menjelang malam
katamu, laut adalah milik semua orang
kau belum cukup mengukur lautku
katakanlah ada angin bernyanyi
dan kita sepakat untuk pulang; tetapi jalanan
belum juga memberi kabar tentang kedatanganku
yang tiba-tiba
hingga waktu menjadi begitu sulit untuk dibaca
seperti rahasianya hidup kita.
Sigli, 17 Agustus 1996
MEMO SIGLI (2)
apakah perlu kutuliskan semuanya
keterharuan membaca bibir langit mengucap sejumlah luka
air mataku tampaknya tidak pernah cukup untuk
menina-bobokanmu dalam jaman ini
apalagi mengajakmu lari dari kenyataan yang sakit
hari-hari tetap saja kegelapan
hari-hari tetap juga kebahagiaan orang lain
kita belajar menulis dan membaca
adalah untuk memahami makna dari segala keperihan
tanpa sempat menukilkan kisah senyum sebuah musim pun
dalam agenda yang tiap hari kita bawa
kecuali jam kerja dan kesibukan yang kita tulis
dengan pesona air mata
dengan sekian kesabaran yang kita eja
ketika kau bercerita bahwa langit adalah kekeringan
aku telah duluan paham akan panasnya perjalanan
tiap jam harus kita tempuh
sementara hujan tak lain sebuah impian yang kerap
berakhir dengan kekosongan
maka doa-doa menjadi penghibur abadi episode ini.
Sigli, 18 agustus 1996
TARIAN CERMIN
mari menatap dalam gigil malam
pertengkaran terus berlangsung
kita terperosok dalam kekalahan
telanjang dan saling menatap
saling mentertawakan
tubuh kita belepotan
meniupkan wangi embun
berputar hebat menembus kabut
kita sunyi alam lingkaran musim
seperti bocah-bocah malu-malu
menatap wajah di depan cermin
kita tunda berangkat sementara
masuk kembali, menari tanpa berhenti
kita tunda bunuh diri
Banda Aceh, 6 Mei 1996
SATIRE CINTA
penjara jadi sangat akrab saat terpahami
membentuk butiran embun dan tarian rumput
kita kehilangan waktu untuk berbasa-basi
semua yang kita bicarakan adalah tanah lapang
dan kebun terserang hama
kita bernyanyi di hotel-hotel
anak-anak menangis di kakinya
jalanan menjelma pentas besar pertunjukan
kita memilin urat bumi dan cerita esok pagi
untuk sepiring makanan
yang bakal kita kafankan malam nanti
Banda Aceh, 6 Mei 1996
JEMBATAN BESI
dia lelaki jagal, bisikmu malam itu,
sambil menidurkan si kecil di tengah reruntuhan
ada banyak wanita berjaga, sambil merajut
kain sobek dan selimut berantakan
kita salah memilih orang: memelihara
harimau, maka menerkamlah ia
dinding roboh, atap ambruk, dan hidup
membeku, berbaris sebagai batu nisan
kau menanamnya sebelum kematian
Pamulang, 2 September 2003
PETA BASAH KUYUP
di sebuah pojok pada wajahmu
bola kecil terapung memerah dan berkilatan:
peta Indonesia yang basah kuyub
asing dan sendiri
kita merekam sorak-sorai di jalanan
keluh-kesah di kegelapan, juga wajahmu yang
sumringahdi meja kerja. Melukis peta
yang lain, jauh dan pekat:
orang-orang berbaris di pagi hari
melupakan bangku sekolah dan jam kerja
mencabut matahari dari orbitnya
menggantikan cahaya di rumah-rumah
di sebuah pojok pada wajahmu
bola kecil terapung dan kau menahan rintih:
cinta hanya sepenggal umur
hidup lalu dilupakan
Jakarta, 19 Januari 2003
ELEGI TANAH KELAHIRAN 1989-1998 (1)
ketika bukit itu dibongkar dan tulang-tulang menyembul keluar
aku tertegun dan kalut: manusiakah yang menguburnya
betapa hidup begitu mudah berakhir. Cinta begitu saja dicabut
Jakarta, 23 April 2000
ELEGI TANAH KELAHIRAN 1989-1998 (2)
Tak ada isyarat, kematian datang tiba-tiba
kita tak mungkin mengelak. Karena itu hapuslah
air matamu
Tuhan memang menciptakan cinta agar kita
berkasih-kasihan
tetapi kematian adalah pilihan: sebuah cinta paling kekal.
Jakarta, 23 April 2000
CERITA UNTUK IBU
aku menulis kesedihan dalam bus yang bergerak
kota mengajari aku menemukan air mata
tiap saat mesti kupahami dengan kekekalan cinta
kukenang berkali-kali tarian di bibirmu:
laut menjerumuskan kita bila tak pintar mengakrabi cuaca
aku menjadi pelaut yang gemar mencatat buih
melempar kail di mana-mana
Jakarta, Nopember 1996
HUJAN SUDUT KOTA
aku kehujanan, tiada payung
kota bagai puisi
yang menetesi kata demi kata
dan kau dengan setia memungutnya
tanpa malu-malu
meski yang kau temui selalu saja kegelapan
tak mampu mengirim cahaya ke bukit-bukit itu.
Lhokseumawe, Aceh, Desember 1995
Tentang
Mustafa Ismail
Mustafa Ismail lahir di Aceh, 25 Agustus 1971. Menulis puisi, cerpen, esai
dan resensi buku sejak 1991. Antologi puisi yang memuat karyanya antara lain: Banda
Aceh (1993), Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Bisikan Kata,
Teriakan Kota (2003), Ziarah Ombak (2005), dll. Sejak 1997, bekerja
dan tinggal di Jakarta.
Catatan
Lain
Adek Alwi menulis di Epilognya bahwa sajak-sajak Mustafa Ismail bisa
dipilah menurut tahun penciptaan serta domisili penyair. Periode pertama,
1993-1996 yaitu ketika penyair masih berdomisili di daerah asal. Kedua, periode
1997-1998, sewaktu penyair mulai menetap di Jakarta sebagai jurnalis. Ketiga,
periode 2000-2003, ketika penyair sudah beradaptasi dengan rantau atau ibukota.
Periode pertama, kata Adek
Alwi, sajak-sajak Mustafa Ismail lebih didominasi tema-tema kegelisahan,
semacam keinginan untuk berangkat, pergi atau melakukan perjalanan. Periode
kedua, tema yang muncul adalah soal kerinduan, juga cinta. ada pula rasa gagap
dan tekad untuk menghadapi lingkungan baru. Dan periode ketiga, yang menyumbang
50-an sajak, muncul ke depan tema-tema “besar”, dalam arti telah meluas dari
sekadar persoalan diri sendiri ke keadaan di Aceh yang pada periode ini masih
rusuh.
Adek Alwi juga merinci tahun
penciptaan puisi sbb: tahun 1993 (1 puisi), 1995 (4 puisi), 1996 (21 puisi),
1997 (13 puisi), 1998 (4 puisi), 2000 (32 puisi), 2001 (1 puisi), 2002 (9
puisi), dan 2003 (14 puisi). Kira-kira demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar