Data Kumpulan Buku Puisi
Judul : Skenario
Menyusun Antena
Penulis : Galeh Pramudianto
Penerbit : Indie
Book Corner, Yogyakarta
Cetakan : I, 2015
Tebal : iv + 222
halaman (131 puisi)
ISBN : 978-602-3091-17-1
Penyelaras aksara
dan penata letak : Pertiwi Yuliana
Desain sampul dan
ilustrasi : Hanny Atalie Dethasya
Skenario Menyusun Antena terdiri atas 3 bagian, yaitu Skenario Menyusun Antena (57 puisi), Fabula dan Simptom Kamar (42 puisi) dan Layar Itu Tak Sempat Mengunjungi Kabar Engkau (32 puisi).
Sepilihan puisi Galeh Pramudianto dalam Skenario Menyusun Antena
KAWAT BERDURI
1998. aku jalan-jalan saja. kawat
berduri. aku makan-makan saja.
bakar-bakar. aku jalan-jalan saja.
koyak-moyak, kebiri. aku
makan-makan saja. gas air mata. aku
ongkang-ongkang kaki saja.
baku hantam. aku baca buku saja.
jarah! sejarah tak akan
bernanah. aku nonton televisi di atas
genteng rumah. berdarah-
darah. aku mandi pake sabun saja.
bising politik, gaduh suara-
suara. aku belum lahir saja. aku
masih aku yang lain di
demonstrasi uang jajan membeli
mobil-mobilan. ini bukan aku
saja. maaf, aku masih bau pasar dan
kamar di congor dan tengik
riwayatku sendiri.
TINGGAL BAHASA
Aku rindu eskalator yang membawaku
sampai di lembah baju-
baju. Kentang goreng, susu kotak, dan
jus melon merekah dalam
kantong belanjaan. Aku rindu ruang
merokok, yang
menggendongku beristirahat pada pekat
polusi kota,
menenangkan dalam sebungkus hisap
lesap.
Aku rindu pada ibu yang berbincang
dengan kliennya bersama
donat dan moccacino di sudut ruko-ruko. Aku rindu bertemu Wiji
dan Warhol. O, apa mereka sarapan
satu meja? Aku rindu pada
billboard di
bulevar, menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam
dekapan kaleng soda. Di praja aku
tertinggal oleh lampu-lampu,
ditawan kartu kredit dan dijajah
gosip-gosip. Kini hanya
bahasaku sahaja yang masih setia
mengampu.
HANYA ENGKAU YANG BISA MEMBERI
JUDUL SAJAK INI
Rumah itu kosong. Tak ada lagi
proyek-proyek. Cerobong asap
sudah mencair.
Engkau berbudaya ya? Tidak, aku
barbar dan primitif.
Aku masih pada kiblatmu.
Begini ya, engkau harus tahu banyak
dari aku-aku lainnya.
Tahu itu akan mendarat pada dirimu
sendiri.
Begini ya, hanya engkau yang bisa
memberi judul di sajak ini
Apa engkau masih percaya pada suara-suara
dirimu sendiri
sayang?
Aku masih percaya, hanya engkau.
Hanya engkau yang bisa memberi judul
di sajak ini
maka, letakkan kembali otakmu ke
pangkuannya
jangan kau jemur selalu,
kering kerontang dapat melelehkan
pikiranmu.
Kasihku, kumohon beri judul pada
sajak ini
Kalau tidak, nanti aku bisa tenggelam
di antara sajak-sajakku
sendiri.
HOTEL
bunyi langkah kaki di tengah perut membal
suara dari luar mengetuk, pesanan
datang.
mulutmu bau, oleh cuaca yang sering
kamu manjain
suapaya kamu bisa makan dengan menu
berbeda setiap hari.
bunyi seruan virtual di bawah kantung mata
telingamu budek, oleh suara yang
menghasutmu
agar terus mondar-mandir tanpa bibir
bintik-bintik berkilauan, semilir
angin menyibak.
bunyi kertas berserakan di atas lubang merah
jas dan koper berkeliaran
belum pada tidur
menjaga kita dari macam-macam
kesibukan
bunyi jam dinding di samping jendela
badamu apek, oleh waktu yang sering
kamu godain karena detik
bisa kamu ubah lewat jam tanganmu.
wisata jarum ke jarum.
otakmu beku, oleh kota yang sering
kamu pukulin karena
empuknya bukan main. lalu, kapan aku
mampir ke dusun
surgamu?
AIUEO
seringkali kita bersuara
pada banyak muka romantika
yang kau tanam di paru-paru,
dan diluapkan lewat horison
menggema bersama mega, angka dan peristiwa-peristiwa.
KAU SELALU INGAT
kau selalu ingat dengan
perjumpaan mata yang tiba-tiba
di sudut rak buku perpustakaan
kutemui kau dalam sunyi yang gaduh
yang tenang dalam pandangan,
yang berisik dalam gemuruh jantung
kau selalu ingat dalam lautan wacana,
yang mengabdi pada kalimat padat
senantiasa memeluk kita dari
kepayahan makna
kau selalu ingat pada halaman berapa
kita dipertemukan buku
lalu bersimpuh pada lipatan kertas
yang aku tandai
bersama jari lentikmu
kau selalu ingat lewat jalan mana kita
akan tiba pada rumah
yang kita bangun beratap pada
dongeng,
berbantal peribahasa
dan berselimut puisi
kau selalu ingat akan ingatan yang
suka lenyap
diterkam kebuasan jam tangan yang
telah kehabisan baterai
karena aku malas menggantinya dengan
yang baru
kau selalu ingat pada bab dan
paragraf berapa kita tersesat
dalam peran yang mencoba menculik
kita
lewat asa dan subteks
yang kita kunyah sehari-hari
kau selalu ingat akan
pertunjukan-pertunjukan kitsch
yang kita tonton karena hanya
merasa tidak enak saja
terhadap undangan teman yang
dialamatkan
pada kita
kau selalu ingat di malam cepat saji,
berlaut telur mata dingin
dan cerita-cerita yang sulit diterka
karena terlalu asin telur mata dingin
dan terlalu manis minuman
yang awalnya dipesan tanpa gula saja
kau selalu ingat bersama ingatan kita
yang mulai lumpuh
diserang kawanan hanyut dan takut.
kau masih ingat.
BIOGRAFI 60 DETIK DIMULAI DARI
SEKARANG
Dalam hulu kata, aku telan bersama pijakan otak dan
tubuhnya.
Di Lapangan Padat Malna
Di lapangan tandus, ada gedung-gedung
bertingkat tumbuh di dadanya.
Langkah Landas Mas Iswadi
Di Cikini dan Kalibata. Kutipan orang
gila di latihan. Cakra.
Taksu. Klakson di
punggung mereka, dada di badan menyamar.
Meteor dan galaksi dalam sebungkus mi
instan. Kopi menyulam,
dan rokok yang ditangguhkan. Lorong
hening. Haru bening.
Bilik Pramoedya
Ia kentalkan mata pada halaman pekat
perjuangan
Dalam Celana dan Kopi Jokpin
Dalam celana, ia sahur kopi dan
membatalkan puasanya lewat puisi
Pada Basah Sapardi
Pada basah, ada air dari langit pada
genggaman topinya.
Terselip huruf kecil memandang dari
balik kacamata. Pada
basah ada berita becek di meja
laptopnya
Di Sudut Meja Goenawan
Ada air mengalir dalam kekanakan
matur tempat pensil dan
robekan kertasnya.
Di Teras Tempat Sitor
Darah mengalir dari saku baju yang
terbuat dari kota, bangsa dan
kepulangan kesekian kalinya
Dalam Rambut Saut
Tersesat ribuan kilometer dalam pijar
lampu dan akar tumbuh
subur di kepalanya
Celah-celah Kang Iman
Mengolah abdi di keramaian pagi yang khusyuk
Kacamata Bang Madin
Drama dan peristiwa, membangun teman
dan taman-taman
Almanak Nano
Kalender kian bersepakat dengan
jadwal tidurnya
Instagram Agus Noor
Cerita lahir dari citra padat.
M Aan Mansyur
“Huruf besar telah mati!” katanya
kepada tuhan, menolak
keangkuhan.
Bakti Bakdi
Senandika pada yang seni
Rencana Drama
Rencana Rendra sebagian atau sudah
semua dilakukan
Ayat Tambayong
Surah-nya dibaca secara seksama
dengan seterang rambutnya
kata
Baju Ungu Bunda
Di baju ungunya, ada gema nurani berpantul
di kancing baju dan
mata ketiganya. Anak duka dari bom
perang, memeluknya
bersama mujahid kata.
Trisno Sumardjo
Mahakarya tersembunyi dalam gaduhnya
seni-seni
Simulasi Baudrillard
Aku beli televisi di dalam Disneyland
pagi hari
Absurditas Camus
Bolak-balik gunung, lelah mendarat
pada asing yang
memberontak.
Dalam hilir dan obituari kata, kusumpahi sajak yang angkuh
dan
sok tahu ini.
SALJU DI LOTENG TETANGGA
: Arman Dhani, Adimas Immanuel &
Andi Gunawan
/1/
reklame melantunkan decit-decit risau
spanduk menggugurkan rona, parasnya
menebarkan peluh
dalam jari-jari dan angin malam
khatam coba turun menyibak rinai
menunaikan senyap peranjat di layar
dan snob itu.
/2/
nyeri telah setia pada hari
berulang-ulang kali
macapat menggoreng sentak dingin dan
piruk liuk
meringkuk menonton tirai dan salam
badai
yang aku bertanya pada kecemasan
melipat dada.
/3/
ada butir salju di wajan nyiprat itu
buihnya memantik-mantik di kaca-kaca
di atas loteng, di bawah tempat duduk
peneroka membaca kita di sepi-sepi hingar
ini.
KAMAR GOSOK
baju-baju menggosok tubuhnya sendiri:
menjual basah dan keriput pada
lipatan bahannya
lecak dan bercak pada sudut-sudut
keramaian
meminta wangi pada tumpukan keringat
kita.
RUANG OPERASI
ananda, jarum suntik itu masih meliuk
dan tak mau pamit. ada dua
yang kau inginkan:
tak ada rotan cari ke hutan atau menang jadi
pulang, kalah jadi
tanah.
KWATRIN AVONTUR
Alam tak perlu kau bela
Mereka tahu kemana nasibnya
Seperti debu yang datang tiap waktu
tak perlu kita mandikan selalu.
SINYAL TEH DAN ANTENA KOPI
kau adalah secangkir hangat
menenangkan memijat tenggorokan kerap
kemarau
kau adalah seteguk rusuk mengaduk
sunyi bersama pagut
bersamamu kita duduk menata gula,
hingga anyir itu nestapa dan moksa
kau adalah teh yang aku sesap
sebelum purnama jatuh
aku adalah kopi yang kau peluk
sebelum matari menari.
HALO
– dari riwayat telepon
Halo!
Iya? Ini siapa?
Halo. Kenapa?
Iya! Ini siapa?
Halo! Ya.
Ya. Ada apa? Ini siapa?
Bisa bicara dengan telepon?
Oh, maaf salah sambung.
Halo! Halo!
Tut. Tut. Tut.
Halo!
Iya? Ini siapa?
Halo. Kenapa?
Iya! Ini siapa?
Halo! Ya.
Ya. Ada apa? Ini siapa?
Bisa bicara dengan halo?
Oh, maaf, halo sedang jalan-jalan.
Halo! Halo! Halo!
Tut. Tut. Tut.
SWAFOTO
Tanganmu basah. Meja makannya banjir.
Selfie. Lautnya kering.
Pasirnya tandas. Selfie. Gunungnya terbang. Pohonnya dansa.
Selfie.
Mobilnya minjam. Rodanya bundar. Selfie.
Panggungnya
roboh. Lampunya tandas. Selfie. Bajunya basah. Keringatnya
kering. Selfie. Rumputnya ranggas.
Sayap belalang patah. Selfie.
Kotanya olahraga. Jalan tidur siang. Selfie. Rambutnya belum
keramas. Ketombe perang. Selfie. Keringatnya loncat. Jerawat
debat. Selfie. Nasinya belum matang. Piring belum dicuci. Selfie.
Buku belum dibaca. Kata-kata sidang
isbat. Selfie. Bon lecek.
Angka-angka muncrat. Selfie. Kameranya lagi dipinjam. Tangan
keseleo. Selfie. Mukanya lagi disewa. Mata sedang kondangan.
Selfie. Fotonya
nyebur ke sumur. Bayangannya tamasnya ke pusat
perbelanjaan di desa. Selfie menuju 30 detik dari sekarang.
ADI
mereka meyakini, semakin ke sini
manusia tidak membutuhkan kitab-kitab
rumah ibadat dan nabi. karena mereka
tau
kitab-kitab, rumah ibadat, dan nabi
telah menjelma:
jalan layang, hotel, buku, sekolah,
dan telepon genggam
yang bisa ditemui untuk berkonsultasi
sambil ngopi di meja kerja-Nya
SKENARIO ARUS MUDIK
Jika ingin menemani, maka doa-doa dan
rezeki dari manusia desa
ke kota, kota ke desa akan tiba pada
perjamuan tiap tahun itu, kata
manusia-manusia. Napas ke napas,
langkah ke langkah, umur ke
umur mengepung jalanan tiap lebaran.
Tak peduli siapa, apa,
bagaimana, berlayar ke pangkuan genus
lahir adalah ritual. Orang
tua yang kesepian, melambaikan tangan
minta beberapa
percakapan. Teman-teman yang ramai,
melonjak-lonjak dari
anak ke anak. Pohon-pohon dulu masih
bibit, telah tumbuh
melampaui waktu-waktu. Kambing dan
sapi terus bernyanyi
meski suaranya limbung. Sumur-sumur
belum kering dari air
pertama kali mandi saat lahir.
Mereka: menabung keringat dan
darah dalam gempita klakson dan
rapat-rapat kendaraan.
Bagaimana denganku? Haruskah aku
menonton saja di layar kaca
tentang jalanan yang tak pernah
tidur, kecelakaan yang tak surut
dari ban ke ban, bemper ke bember,
dan tangan kepada kepala
yang bertubrukan?
Oh, kawan. Kau sepertinya belum piknik,
ya?
SKENARIO MENYUSUN ANTENA
1.
Skenario Antena Kedai
Kopi
yang belum disiram ke matamu akan berakar menjadi
pohon
kopi di bawah kantung matamu. Teh yang belum
dikeringkan
di tenggorokanmu, akan tumbuh menjadi batang
kaki di
lenguhan pagi kian larut. Sirup di kedua lenganmu
meminta
lebih agar mampu mencapai pipi di kedalaman gigimu.
Susu di
punggungmu, menatap saya lembut tanpa tahu bahwa
saya
yang akan mengajakmu menenun ingatan lewat kardus
genggam
yang suka saya bawa di kala punggung saya terbakar
haus.
Sari buah yang kautanam di pelintiran lidahmu, berlomba
memijat
kerongkonganmu dari rasa pahit karena saya suka
bertamu
meninggalkan pasir waktu.
Kenapa?
Kamu takut dengan orang-orang baru yang tiada pernah
kamu
temui sebelumnya? Tidak perlu, yang kamu butuhkan
hanya
kepercayaanmu kepada saya secara bulat dan terang.
Terang
saya akan menjelaskan kenapa kamu butuh ikut dengan
saya
agar pikiranmu tidak buram oleh semilir polusi. Polusi di
di
wajahmu kian kentara akan menghapus bayang tubuhmu
seluruhnya.
Coba kamu pikir lagi, saya tiada akan merenung saja
di
kabin tolilet, dua meter dari wastafel yang ingin menemui saya
dengan
wajah kisut menendang. Saya tidak hanya menunggu
keran
di teras lumut itu mengeras. Saya ingin agar kamu mengerti
maksud
saya tanpa saya harus memaksa lebih lanjut yang
bermuara
pada perkara tentang kenapa kamu masih terus
menanyakan
saya yang jelas kamu tahu bahwa saya sebenarnya
juga
ingin mengikuti saya dari balik kemeja biru itu. Saya tak
ingin
bertengkar lagi dengan saya. Saya yang lain coba membuka
pintu,
tapi awan itu enggan menutup sumur air mata.
2. Skenario Antena
Pasar
Sesungguhnya saya tiada menanti hujan. Hujan datang
memeluk
kamu dari belakang. Menggoda punggungmu melawan kail es
krim di pameran jas hujan berdiskon sembilan puluh persen. Es
krimnya meleleh, rumah ibadah banjir karena orang-orang
banyak meneduh dari hujan es krim itu. Es krim itu
menemuimu
dalam keadaan telanjang. Kameja biru yang kamu pakai masih
menggantung di toilet. Saya menunggu di gerbang rumahmu.
Rumah itu warnanya masih hijau, ada pohon kelapa
menggantung di atap rumahmu. Kalau kamu mudah haus, maka
salon adalah tempat yang tepat untuk berlibur dari gurun
basah
bibirmu. Saya ingin ke perpustakaan yang isinya sejarah
celana
jin, riwayat mantel dan kaos oblong, hikayat vidoe game,
reportase bioskop tengah malam, hagiografi nasi goreng,
fabel
foto rupa kita dalam kotak, ensiklopedi burger dan kebab,
legenda kendaraan mematung, dongeng batu-bata dan
penggorengan, mitos angkat beban, novel die cast dan action
figure, serta cerita pendek lift dan eskalator.
Rasa lapar adalah bumbu setiap hidangan. Tidak ada yang
patut
diperdebatkan menyangkut selera. Kamu yang menyukai teh
tanpa gula atau aku, kopi tanpa cangkir. Aku bukan, aku adalah,
aku bukan, aku tidak peduli. Saya bukan pakaian yang
memberi
arti pada seseorang, akan tetapi saya yang memberi arti
pada
pakaiannya. Green
tea. Teh warna rumput jangan lupa. Aku tidak
pernah lupa, yang lupa adalah aku, bukan saya.
Kamu mau ke Disneyland dulu apa ke pasar malam yang juga
ada
wahana? Saya kasih pilihan. Kalau kamu mau ke Disneyland,
kamu jangan lupakan wahana di negeri ini. Jadi, kamu harus
ke
pasar malam dekat
rumahku dulu, baru kamu boleh ke Grand
Indonesia. Di pantai ada bayanganmu, tapi tidak ada pasir
berwajah kita. Airnya makin keruh karena kita lupa mencuci
baju
bekas basah air tadi sore.
Atau kita coba ke pusat kebugaran. Ada barbel, sepeda,
jungka-
jungkit, dan alat-alat pemoles badan agar kian jadi dan
menggemaskan. Sehat, loh. Kalau tidak sehat nanti kamu
mati
keracunan polusi kendaraan dan makanan yang biasa kita
makan
di kafe itu. Di kafe, orang-orang banyak membicarakan
konsumsi
dan reproduksi. Saya bisa makan, kau bisa bangun restoran
dari
obrolan kita tengah malam. Sambil bermain game di ponsel kita
masing-masing, kita bangun jejaring kita lewat hobi dan
keahlianmu itu ya, sayang.
Jangan lupa dompetmu dijemur, matahari sebentar lagi
kabur.
3. Skenario Antena
Layar
Kamu tahu? Ada yang diam-diam
meminjam tubuhmu dari pagi
yang belum datang. Ia menikam
hidungmu dari balik subuh dan
fajar. Lehermu beku karena kehabisan
oksigen. Daun telingamu
mencoba berfotosinteis dari tubuh
saya, tapi saya berlari sekuat
tenaga menjauh dari tiga puluh meter
kini. Saya dan kamu tiada
bertemu, tapi aku berhasil meminjam
tubuhmu. Kamu berlari
menujuku, tiada ingin lepas tubuhmu
diambil saya. Dari tiga
puluh meter itu, kini berkurang
hingga tiga meter di samping
saya. Tubuh saya diloncati oleh
tubuhmu yang ada pada diri saya.
Kamu berhasil menagkap tubuh kamu
dari tubuh saya yang ada
pada tubuhmu.
MANIFESTO PSEUDO
Dengar! Kita ini adalah pemilih sah fragmen gelisah! Halah!
Lagumu. Hidup
dari antena ke antena. Dari senyap ke sengat.
Dari sinyal ke sial. Huailah.
5
PERTEMPURAN DI MEJA MAKAN
Kita adalah orang dalam lingkaran.
Sendok, garpu dan piring
adalah senjata kita. Kita akan tanam
lemak di sela kebisingan
meja makan. Kita akan mencari kawanan
baru dari kedai ke
kedai. Kita sepertinya akan memusuhi
kenyang dan perut
ngantuk.
4
SILUET KOTA
Kita adalah orang dalam kotak.
Melancong. Mengambil gunung
dan pantai. Gunung dan goa itu kita
ambil. Gedung-gedung
bertingkat banyak tumbuh dalam tubuh.
Kita akan ambil gedung
itu sesuka kita. Tanpa tandas, tanpa
cemas. Kita ambil semuanya
tanpa takut akan habis. Kita ambil
semua dalam perjalanan
kameramu.
3
ANATOMI PUSAT PERBELANJAAN
Kita adalah plastik dan tas yang
digotong saban awal bulan. Apa
isi plastik dan tasmu, adalah apa
yang kamu. Mari kita tawaf di
sini. Sebelum satpam mengurung kita
di toilet rumahmu.
2
DALAM PORTAL JARINGAN
Kita adalah kecemasan yang tak
kunjung reda. Colokan adalah
dewa penyelematmu. Tolong, kenalkanku
pada hutan, daun
dan gunung-gunung itu. Aku masih
antena yang mencari sinyal
nyinyirmu. Seorang sinyal yang belum
pada pertemuan.
1
ANTENA DI ATAS RANJANG
Kita adalah sepi yang tak ingin
padam. Menyala-nyala pada
pucuk getar dan debar. Menidurkanmu
dalam lelap gamang,
dalam khidmat sarang-sarang.
0
TIDUR DALAM AKUARIUM
Kita adalah peluk yang belum tuntas
pada perjumpaan tangan.
Dalam kamar aku tenggelam di layar.
Kita adalah tidur yang
belum ngantuk. Kita adalah meram yang
mematuk-matuk.
SIMPTOM SEBELUM TIDUR
mengasah resah
kau boleh gelisah, asal muaranya
indah. ah! pernyataanmu buat
resah. mana bisa gelisah jadi indah,
paling-paling bisa ia hanya
jadi duka menengadah.
fabula dan simptom kamar
bagaimana kabar matamu? ia melihatku
di sudut pintu. gelisah
sepertinya sudah jadi biografi
hari-harimu. tentang esok menyapa
kita dari ketidakpastian, tentang
hari ini mengikatmu dari
kealpaan.
Tentang Galeh Pramudianto
Galeh pramudianto lahir di Jakarta,
20 Juni 1993. Menempuh Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas
Negeri Jakarta. Menulis puisi, naskah drama, esai dan skenario. Puisinya
tersebar di berbagai media daring dan antologi bersama. Skenario Menyusun Antena adalah kumpulan puisinya yang pertama.
Catatan Lain
Selain biodata penulis, juga muncul
biodata ilustrator, Hanny Atalie Dethasya, lengkap dengan foto ybs, sebagai
berikut: lahir di Jakarta, 18 Juni 1996. Menempuh pendidikan di Desain
Komunikasi Visual, Universitas Paramadina. Gemar melukis dan bermain gitar.
Begitu.
Di
sampul belakang buku muncul petikan dari puisi Bulan Madu di Bulan, Skenario Menyusun Antena, dan Manifesto
Pseudo. Halaman 217 – 220 muncul tutur
ke tutur, semacam komentar pendek Saifur Rohman, I Putu Agus Phebi Rosadi,
Budhi Setyawan, Irsyad Ridho, Faisal Syahreza, Faisal Oddang,
Adimas Immanuel, Peri Sandi Huizhche.
Kata
Irsyad Ridho: “Galeh adalah bagian dari generasi baru yang menghidupi dunia
imajinasi Afrizal – justru di dalam darah-daging kehidupan urban sehari-hari
dari dunia paska-reformasi yang nyinyir dan paradoks. Di situlah puisi-puisinya
lebih terasa klop antenanya.” Kata Faisal Oddang: “Jika tujuan membaca Skenario
Menyusun Antena untuk mencari ‘kekuatan’ Galeh, saya pikir anda akan
menemukannya di sajak-sajak pendek yang ada di dalam buku ini.... ia berhasil
menciptakan banyak hal dengan sedikit kata, itu yang saya temukan.”
Galeh
menulis pengantar yang rada puitis berjudul: Antena Itu Berpendar, Ada yang Tak Bisa Menghindar, hlm i-iii. Di
bagian akhir, tertulis begini: Kerap saya bertemu dengan teman atau orang-orang
yang sudah lama tak pernah bertemu lagi, mereka selalu setia mengutarkan ini,
“Makin gemuk, ya, sekarang!” tubuh adalah citra dan komoditas. Tak ada orang
yang bertemu langsung menanyakan, “Bagaimana kabar kontemplasimu? Akan dibawa
ke mana nanti?” dan kita memang sepatutnya mengikuti arus itu, atau bisa juga
mendobraknya dengan kopi di tangan kiri dan sirup di tangan kanan.//Breyten
Breytenbach pernah mengatakan, “Di dalam diri setiap manusia ada sebuah puisi
yang tersembunyi.” Persembunyian itu nampaknya telah tersingkap oleh kawanan
antena-antena yang telah menyerbu ruang-ruang dan relung saya.//Bintaro, Juni
2015.
wah makasih banyak informasinya sangat membantu saya kebetulan sedang mencarinya
BalasHapusanime romance terbaik
Menarik sekali artikelnya gan..
BalasHapussangat bermanfaat bagi saya yang membutuhkan..
anime romance
If the purpose of reading the Antenna Scenario is to find Galeh's 'strength', I think you will find it in the short poems in this book.
BalasHapusI even find it difficult to say what style this article can be attributed to, because it was written in a unique and unknown style for me.
BalasHapusmantul puisinya ... menambah perbendaharaan cara saya membuat puisi thank you
BalasHapus(Wisnu Murti,https://tulisandenpasar.blogspot.com)